Rabu, 13 April 2011

Memulai Tradisi Mundur

Fuad Rumi Dosen Universitas Muslim Indonesia (UMI)
Arifinto, anggota DPR dari Fraksi Keadilan Sejahtera akhirnya menyatakan diri mundur sebagai wakil rakyat. Sikap itu diambilnya sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban moral karena sebelumnya ia tertangkap kamera wartawan melihat video porno pada perangkat tablet pribadinya, saat Sidang Paripurna DPR berlangsung hari Jumat 8 April lalu.

Seperti kita ketahui dalam pemberitaan yang segera merebak ketika itu, Arifinto lalu mendapat pemberitaan publik yang gencar.

Arifinto sendiri mengatakan bahwa video porno yang dilihatnya adalah kiriman seseorang melalui alamat emailnya.

Tulisan ini tidak ingin mengulas duduk perkara kejadian itu sendiri, tetapi ingin bertolak dari keputusan mundur Arifinto sebagai anggota DPR atas kejadian tersebut.

Sehubungan dengan "kecelakaan" ini, Arifinto telah menunjukkan sebuah sikap yang baik dan tepat. Arifinto menunjukkan sebuah pertanggungjawaban moral akibat keteledoran yang telah dilakukannya.

Arifinto tidak ingin membiarkan media dan publik berlama-lama menguras energi mengecam dirinya. Ia segera mengambil keputusan ksatria, mundur.

Sesungguhnyalah di balik keputusan itu ada sebuah makna penting yang perlu ditangkap sebagai pesan oleh para wakil rakyat lainnya, dan juga para elite pemimpin negeri ini. Pesan itu adalah tentang kesatriaan untuk mundur dari kedudukan manakala telah melakukan pelanggaran hukum dan etika atau tidak lagi mampu mengemban amanah yang dipikul.

Di negeri kita, mundur dari jabatan sebagai pertanggungjawaban moral adalah sesuatu yang belum pernah terjadi. Jika di negara lain, ada pejabat yang meletakkan jabatan atau bahkan bunuh diri sebagai wujud tanggung jawab moralnya, maka di negeri kita tidak pernah ada. Kata sementara elite yang dalam wilayah tanggung jawab moralnya pernah ada kejadian yang seharusnya membuat ia malu dan mundur, sembari senyum hanya mengatakan ah itu bukan budaya kita.

Karena itulah, momentum mundurnya Arifinto sebagai wakil rakyat, patut kita garisbawahi sebagai sebuah kesadaran baru yang seharusnya juga dimiliki oleh para elite kita, siap mundur jika tidak mampu atau melanggar etika dalam menjalankan amanah, apalagi jika melanggar hukum. Jika dalam pemilukada dan pilpres ada jargon populer siap kalah dan siap menang, maka seharusnya juga ada jargon siap mundur jika tak mampu memanggul amanah.

Mundurnya Arifinto sudah barang tentu setelah melalui proses konsultasi dengan partainya sendiri, PKS. PKS sendiri sebagai partai dengan slogannya yang terkenal, Bersih dan Peduli, mendapatkan ujian besar dengan insiden Arifinto itu. Konsistensinya terhadap jargon tersebut ditagih masyarakat dengan adanya kejadian tersebut.

Akhirnya, jawaban sudah diberikan. Arifinto minta maaf dan menyatakan diri mundur. Itu, sekali lagi, adalah jawaban konsistensi dan kesadaran akan tanggung jawab moral yang ditunggu masyarakat. Harapan selanjutnya ialah agar konsistensi dan tanggung jawab moral itu terus dipegang teguh sebagai sebuah prinsip oleh PKS.

Akhirnya penting digarisbawahi bahwa kejadian itu sebenarnya dan hakikatnya bukan hanya berkenaan dengan Arifinto seorang. Di negeri ini, betapa banyak elite yang sebenarnya telah menginjak-injak hukum dan mengoyak etika, hanya saja tidak "tertangkap kamera". Dalam konteks itulah, pengunduran diri Arifinto diharapkan menjadi sebuah kesadaran baru, dimana para elite pengemban amanah publik negeri ini mau menunjukkan sikap ksatria, mundur jika telah melakukan hal yang tidak pantas atau gagal melaksanakan amanah.

Kesediaan mundur bila berbuat salah adalah sebuah kesadaran akan tanggung jawab yang diemban. Ia juga adalah manifestasi dari rasa malu yang masih dimiliki sebagai bukti masih hidupnya nurani.  

Kesadaran seperti itulah yang kita saksikan, antara lain, pada masyarakat Jepang yang saat-saat sekarang ini membuka mata kita melihat betapa tangguhnya mereka sebagai sebuah bangsa. Betapa seringnya terjadi pejabat publik Jepang, mengundurkan diri dan bahkan bunuh diri, karena merasa malu melanggar kepatutan dan hukum.

Sekarang, di negeri ini, mari kita saksikan, seorang Arifinto telah menunjukkan sebuah teladan tentang seorang terhormat, seorang pejabat publik yang menyadari sebuah ketidakpatutan yang telah dilakukannya, justru demi keterhormatan itu dia mundur. Kita tidak perlu mengurangi rasa hormat pada dirinya, sebab sebaik-baik orang bukanlah karena ia tidak pernah bersalah, tapi ia jujur mengaku salah lalu bersedia memikul akibat dari kesalahannya.

Sesudah ini kita tidak mengharap ada "Arifinto" berikutnya. Tapi bila toh tidak terelakkan, terjadi lagi, maka tidak usahlah menunggu lama-lama, segera mundur demi kehormatan diri dan demi tidak mencemari habitat tempat mengabdi.

http://www.fajar.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More