Jumat, 29 Juli 2011

Logika Menyalahkan Lawan Politik

PKS pecat Yusuf Supendi. Padahal, Yusuf Supendi adalah pendiri PK, cikal-bakal PKS. Yusuf Supendi meradang dan menyerang. Aib, atau mungkin lebih tepatnya aurat, para petinggi PKS, mulai dari Fahri Hamzah hingga KH Hilmi Aminuddin, bahkan KH Rahmat Abdullah yang telah meninggal pun, diungkap dan diperkarakan secara hukum. Mulai dari soal poligami, dana asing, SMS ancaman, hingga pilkada DKI dibuka. Tidak saja dilaporkan ke KPK, Mabes Polri, dan BK DPR, tetapi juga dituntut secara etika, perdata, dan pidana.

Hanya saja, sejauh ini “nyanyian” Yusuf Supendi, belum ada yang terbukti. Kasus “nyanyian-nya”, seperti kata Wakil Ketua KPK, M. Jasin, sangat sulit untuk ditindaklanjuti, diperiksa, disidik, apalagi dilidik. Kemudian, Yusuf Supendi, malah dinilai terlalu mengada-ada, aneh, terlalu membabi-buta alias abnormal. Karena itu, PKS berani mengklaim bahwa Yusuf Supendi hanya barisan sakit hati dan digerakkan oleh pihak luar yang lebih kuat untuk menyerang PKS sebagai bagian dari serangan politik dari lawan politik PKS untuk merusak citra PKS.

Logika PKS, satu, Yusuf Supendi dipecat telah lama, kok baru sekarang bernyanyi? Dua, PKS memang baru saja bersikap berbeda di DPR soal hak angket pajak, ada pihak-pihak yang tidak suka dengan sikap PKS itu. Apalagi isu reshuffle kabinet ketika itu kuat menerpa PKS, dan PKS sulit untuk di reshuffle atau dibuang dari partai koalisi, karena posisinya relatif kuat di mata publik. Makanya, citra PKS harus dirusak terlebih dulu jika ingin juga membuang PKS. Tiga, PKS tahu betul kekuatan Yusuf Supendi, kiranya tidak akan mungkin membayar pengacara kondang, jika tidak ada orang kuat dibelakangnya, apalagi pemecatannya sudah berlangsung lama dan alasannya tidak sembarangan.

Namun demikian, PKS, seperti dikatakan Sekjen Anis Matta, tetap mempersilahkan Yusuf Supendi menempuh jalur hukum dan tidak akan melakukan serangan balik, artinya balik lagi melaporkan dengan alasan pencemaran nama baik, karena tetap menghormati Yusuf Supendi sebagai sesepuhnya. Dalam suasana pemberitaan media massa yang sangat genjar, terutama di media on line, PKS kemudian memilih aksi diam terhadap nyanyian Yusuf Supendi dan akan siap melayani Yusuf Supendi secara hukum.

Akhirnya, pemberitaan media massa berkurang, strategi PKS dirasa tepat, dan logika PKS bahwa Yusuf Supendi digerakkan oleh pihak luar yang lebih kuat sebagai serangan politik dari lawan politik PKS seolah bisa diterima publik, karena nyanyian Yusuf Supendi terbukti lemah dan tidak terbukti. Dan yang terpenting adalah, PKS sejak awal telah satu suara dalam menghadapi nyanyian Yusuf Supendi. Isu perpecahan internal PKS yang coba digembar-gemborkan dijawab dengan pengerahan massa di Gelora Bung Karno dalam rangka milad ke-13 PKS yang terbukti memang penuh sesak sebagaimana aksi-aksi PKS sebelumnya.

Ketika nyanyian Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, menyeruak, Demokrat juga kemudian menuduh pihak luar—sebagaimana strategi PKS—yang menggerakkan Nazaruddin sebagai bentuk dari serangan politik terhadap Demokrat. Bahkan, secara terang-terangan menyalahkan pers yang terlalu membesar-besarkan, selalu menjadikan nyanyian Nazaruddin sebagai headline yang hanya dikirim lewat SMS, Blackberry Messenger, maupun telepon langsung ke media cetak dan televisi, serta terakhir malah lewat skype. Artinya, hal itu tidak bisa lagi dibantah sebagai SMS gelap dan suara yang hanya dimirip-miripkan. Bahwa benar serangan balik atau nyanyian itu berasal dari Nazaruddin.

Logika Demokrat dianggap kurang tepat karena, satu, Demokrat adalah pemenang pilleg dan pilpres, karena itu tidak ada kekuatan lain yang lebih kuat dari Demokrat atau Presiden SBY. Dua, nyanyian Nazaruddin, walaupun melebar kemana-mana, berawal dari kasus wisma atlet yang tertangkap tangan oleh KPK. Jadi, kasusnya adalah nyata adanya dan tidak dibuat-buat atau karena sakit hati belaka. Tiga, Nazaruddin mulai bernyanyi, karena merasa dikorbankan sendiri atau setelah dibaca sebagai pecah kongsi. Empat, artinya, Nazaruddin selain sebetulnya adalah pelaku, tetapi ingin bergerak memposisikan diri hanya sebagai korban.

Perlu diingat bahwa sejak awal, para petinggi Partai Demokrat, telah tidak satu suara dalam menyikapi kasus yang membelit Nazaruddin. Ada yang dapat informasi dengan utuh seperti TPF (Tim Pencari Fakta), karena itu membela dan ada yang tidak alias tahu ujung-ujungnya saja. Yang tidak, terkesan justru menjadikan kasus Nazaruddin ini sebagai panggung politik baru. Terlalu cair.

Jadi, kalau saat ini, para petinggi Partai Demokrat memilih mendiamkan saja kasus Nazaruddin pasca dipecat setelah Rakornas, dan menyerahkan kasus Nazaruddin kepada penegak hukum, karena bukan lagi urusan Partai Demokrat, justru terdengar aneh dan terlambat. Hanya menyerahkan persoalan dari Demokrat kepada Presiden SBY, yang notabene Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, masih tangan yang sama.

Menyalahkan pihak luar atau lawan politik sebetulnya telah pernah dicoba oleh Ramadhan Pohan dengan melempar isu inisial politik atau politik inisial dengan istilah “Mister A”. Tetapi, strategi itu terbukti gagal alias layu sebelum berkembang. Rakornas yang dijadikan momentum untuk menunjukkan kesolidan atau kekompakkan internal Partai Demokrat juga terkesan mengalami antiklimaks.

Makanya, yang dibutuhkan oleh Partai Demokrat saat ini bukan lagi menyalahkan pihak luar atau lawan politik yang lebih kuat, karena tidak ada lagi kekuatan yang lebih kuat dari Demokrat-Presiden SBY, mendiamkan saja setelah kicauan yang tidak terkontrol, menunggu atau menyerahkan saja kepada KPK setelah KPK juga diserangbalik oleh Nazaruddin, semuanya tidak efektif lagi, umpama nasi sudah menjadi bubur. Koreksi ke dalam, bercermin secara sadar, dan melakukan amputasi masalah secara internal jauh lebih baik sebelum semuanya jadi terlambat. (*
) [Sumber: http://padangekspres.co.id]


Oleh : Erizal 
Direktur InCost, Institute for Community Studyies
 

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More